Kamis, 12 Februari 2009

Urgensi Penanganan Bencana Akibat Air

Indonesia memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Yang terjadi adalah pada musim kemarau terjadi kekeringan dan jika musim hujan tiba terjadi banjir dimana – mana. Permasalahannya kenapa kita tidak mampu mengelola/mengatur air sedemikian rupa sehingga tidak terjadi banjir pada musim (pencegahan bahaya banjir) dan pada musim kemarau kita masih memiliki cadangan air.
Masalah banjir dan kekeringan tidak selesai atau tuntas, salah satunya disebabkan cara pandang sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa banjir adalah hal yang biasa, demkian juga mengenai kekeringan di musim kemarau. Cara pandang sebagian besar masyarakat ini sangat menghambat dalam mencarikan solusi tentang banjir. Seharusnya cara pandang yang benar adalah banjir itu akibat ulah manusia sehingga dapat diatasi demikian juga mengenai kekeringan asal ketersediaan air dapat dikelola dengan baik.
Pola – pola lama dalam penanganan kekeringan dan banjir harus kita tinggalkan dan mencari model baru yang lebih komprehensif serta berkualitas. Memang kita (PNS) sudah bekerja keras tetapi hasilnya belum memuaskan sehingga masih tetap saja terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Oleh karena itu diperlukan upaya – upaya yang sinergis melalui: a) Mengajak banyak – banyak orang untuk tertarik kemudian bertindak untuk mencegah terjadinya banjir. Semakin banyak orang tahu tentang air dan irigasi akan semakin mempercepat penangan masalah yang ditimbulkan oleh air. Contoh kecil membuat resapan air di masing – masing halaman rumah; b) Air adalah bom waktu yang sewaktu – waktu akan merusak dan menghantam kita, segera lakukan pencegahan; c) Meningkatkan komitmen pemda melalui pembekalan terhadap semua Kepala Daerah dan anggota legislatif; d) Membentuk komunitas irigasi mulai dari pusat sampai daerah, yang bertujuan untuk sharing informasi, melakukan kampanye terhadap masyarakat tentang “Arti dan Pentingnya Air dan Irigasi”; e) Menggelorakan dan membangkitkan semangat penanganan air bagi birokrat, LSM, dan politikus. (sgt/03/02/09).

Monitoring dan Evaluasi Yang Salah Kaprah

Program WISMP sesungguhnya program strategis dengan focus partisipasi. Inti program ini adalah capacity building dengan harapan setelah program WISMP berakhir metode yang digunakan tetap diterapkan sebagai tugas rutin.

Berbagai target telah ditetapkan dalam loan agreement, bahkan monitoring World Bank mission juga mempertegas target-target yang harus dicapai selama program berjalan. Untuk mengetahui tingkat capaian target perlu dilaksanakan monitoring, sedangkan untuk mengetahui kualitas target perlu dilaksanakan evaluasi.

Sebenarnya untuk mengetahui indikator capaian target telah diakomodir dalam Project Management Manual (PMM), namun proses pelaksanaan monitoring dan evaluasi belum bisa dilakukan secara optimal. Hal ini disebabkan adanya ketidak sinkronan antara konsep monev dengan kenyataan yang dilaksanakan.

Dari tahun ke tahun memang ada program monev, namun dalam komponen anggaran untuk monev yang diakomodir dalam DIPA, baik di PPMU maupun KPMU hanya bersifat perjalanan dinas. Pemahaman monev yang substansial belum nampak jelas, karena justru substansi monev tidak ada anggaran seperti penyusunan instrument monev, pengumpulan data, prosesing data, lokakarya dan pelaporan. Sebenarnya ada apa dibalik itu? Kurang pemahaman atau memang salah kapra dalam memahami monitoring dan evaluasi.


Ada anek dot yang berkembang WISMP= Wisata Sambil Menyusun Program, barangkali anek dot ini benar, jika dilihat sisi budgeting monev. Mengapa bisa terjadi, siapa yang salah?

Sebenarnya hasil monev dapat digunakan sebagai “lesson learned” untuk perbaikan masa mendatang, baik program maupun metoda yang digunakan.
Hasil monev TA. 2008 sudah ada, baik Perda tentang Irigasi, Komir, TPM/KTPM, Luas DI sebagai cakupan WISMP, jumlah P3A/ GP3A/IP3A.

Ada satu hal yang belum disentuh yaitu perkuatan KPL, padahal di PMM maupun Aide of memoire sudah jelas KPL perlu ditumbuhkembangkan dan disiapkan, agar setelah masa pendampingan TPM berakhir, fungsi TPM digantikan oleh KPL.
Dari hasil tersebut belum ada tindak lanjut pada TA. 2009. Sebagai contoh Komir belum semua Provinsi dan Kabupaten dibentuk/revitalisasi, namun di LK TA. 2009 tidak diakomodir, demikian Perda irigasi, identifikasi kebutuhan dan sosialisasi DPI, SK Gubernur/Bupati tentang Redefinisi tugas KPI dsb. Pada hal hal tersebut merupakan target yang harus dicapai WISMP sesuai loan agreement. Oleh karena itu kami usulkan kepada Direktorat Bina Bangda program-program tersebut dapat diakomodir pada TA. 2009, baik melalui DAK maupun DAU. (tjo - IDPIM Jabar 05/02/09)

Selasa, 03 Februari 2009

DIPA 2009 terlambat lagi?


Tahun 2008, DIPA PPKSDA terbit akhir bulan juni sehingga sangat terlambat yang idealnya bulan Januari sudah dapat diterima (terbit DIPAnya). Akhirnya Ditjen Bina Bangda mendapat kecaman dari berbagai daerah (Bappeda Provinsi dan Kabupaten) karena dengan keterlambatan ini sangat mengganggu kegiatan di daerah sebab DIPA untuk daerah jadi satu dengan DIPA Ditjen Bangda. Selain itu banyak daerah yang mengajukan revisi karena dengan keterlambatan itu mengakibatkan untuk kegiatan-kegiatan tertentu harus dirubah, yang jelas dengan keterlambatan sangat menyusahkan banyak pihak.
Untuk DIPA tahun 2009, daerah telah menyelesaikan RKAKL nya tetapi Ditjen Bangda belum dapat kepastian alokasi dana tahun 2009 dari Bappenas. Ditjen Bangda untuk tahun 2009 memerlukan dana sebesar 15 milyar yang bersumber dari mata anggaran 69 (mata anggaran milik Depkeu). Oleh karena itu, untuk tahun 2009 sangat potensial terjadinya keterlambatan keluarnya DIPA. Ini yang membahayakan !. Untuk itu upaya yang sedang dilakukan oleh Direktorat Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup akan menyurati Bappenas yang isinya mengingatkan dan mendorong untuk segera mengeluarkan alokasi dananya. Kalau seandainya kepastian dana itu keluar pada bulan Januari 2009 maka DIPA di bulan Februari dapat keluar, dengan demikian tidak terlalu terlambat. Tetapi bila tidak segera direspon atau belum ada kepastian alokasi dana, yang jelas keterlambatan tidak bisa dihindari. (wsp/01/09).

Senin, 02 Februari 2009

Kemajuan Anggaran 2008

Dengan terlambatnya DIPA 2008 yang diterbitkan pada tanggal 2 juni 2008, maka berdampak banyak pada daerah yang mengalami keterlambatan pelaksanaan kegiatannya. Salah satunya terlihat dari indikasi penyerapan dana pada tahun anggaran tersebut dari NPIU Ditjen Bina Bangda dan PMU/PIU di Bappeda provinsi dan kabupaten yang menunjukkan capaian penyerapan total sebesar 53 %, sedangkan capaian penyerapan dari setiap unit pengelola di tingkat pusat mencapai sebesar 93% dan daerah (provinsi dan kabupaten) mencapai sebesar 41%.
Berdasarkan surat dari Ditjen Bina Program Depart. PU pada tanggal 8 September 2008 perihal pengurangan alokasi anggaran untuk 2009, maka pembiayaan anggaran untuk penguatan kelembagaan pengelolaan irigasi pada NPIU Bangda, PPMU/PPIU dan KPMU/KPIU Bappeda secara otomatis juga mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan tersebut berimplikasi pada pengaturan program secara lebih ketat di daerah dalam memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang belum selesai dilaksanakan. Selain itu juga diharapkan adanya daya dukung penganggaran dari setiap daerah dalam melanjutkan program kegiatan yang belum tercapai target sasarannya.
Pada aspek pencapaian target kegiatan, beberapa harapan dari Daerah muncul di Tahun 2009 antara lain tidak lagi terjadi keterlambatan penerbitan DIPA seperti tahun sebelumnya. Ketepatan penerbitan DIPA akan memberikan pengaruh positif terhadap pelaksanaan kegiatan sesuai dengan jadwal dan perencanaan yang telah ditetapkan. Harapan lainnya adalah jadwal pelaksanaan kegiatan yang direncanakan oleh Pusat (PU/Bangda) agar dapat diinformasikan keseluruh daerah, sehingga dapat disesuaikan dengan perencanaan dan jadual program kegiatan yang sudah ditetapkan pada setiap daerah (hes/01/09).

Capaian Program Penguatan Kelembagaan 2008

Program penguatan kelembagaan sumberdaya air dan irigasi sampai tahun 2008 yang dilaksanakan di 13 provinsi dan 78 kabupaten telah menghasilkan beberapa capaian antara lain adalah terbentuknya Perda Irigasi di tingkat provinsi sebanyak 1 dokumen dan tingkat kabupaten sebanyak 15 dokumen. Selain itu juga sudah dibentuk komisi irigasi sebagai wadah koordinasi pengelolaan irigasi di daerah sebanyak 6 di tingkat provinsi dan sebanyak 43 di tingkat kabupaten. Berdasarkan capaian tersebut secara umum masih relatif lebih rendah dari target yang direncanakan. Oleh karena itu diperlukan akselerasi dan percepatan tanpa mengabaikan kualitas materinya untuk lebih baik pada tahun 2009 ini.
Pada aspek pemberdayaan masyarakat telah dibentuk dan dikembangkan organisasi P3A/GP3A/IP3A di sejumlah daerah irigasi lokasi program WISMP sampai tahun 2008 masing-masing sebanyak 5549 unit, 740 gabungan, dan 26 induk.
Untuk mempercepat capaian pemberdayaan juga telah dihadirkan program pendampingan melalui mobilisasi Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) dan Koordinator TPM (KTPM). Sampai tahun 2008 telah dihadirkan sebanyak 100 KTPM dan 615 TPM tersebar di 1180 Daerah Irigasi (DI) lokasi program WISMP.
Tanpa mengesampingkan beberapa temuan dari permasalahan program pendampingan, namun kehadiran KTPM/TPM dapat dan mampu mewarnai program pemberdayaan masyarakat di sektor pertanian dan irigasi secara positif. Pada beberapa lokasi ditemukan bahwa TPM/KTPM mampu memotivasi masyarakat untuk lebih berdaya baik dalam berorganisasi maupun secara teknik mengelola irigasi di wlayahnya (tersier) dan berkontribusi serta berpartisipasi pada tingkat sekunder. Pada tahun 2009 diharapkan kinerja KTPM/TPM dapat lebih meningkat lagi sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat petani.
Secara umum peningkatan capaian program penguatan kelembagaan irigasi membutuhkan daya dukung dari daerah baik di tingat provinsi maupun kabupaten untuk lebih meningkatkan kinerjanya secara optimal (ddn/01/09).